Selasa, 10 Juni 2014

Waspadai, Sang Pedofilia Srigala Berbulu Domba Ancam Anak

Tugas Penulisan Aspek Hukum dalam Ekonomi

 

Nama : Prabu Rayfianus

NPM  : 25212679

Kelas : 2EB20

 

 

Berita menghebohkan kembali terjadi, Babe alias Bahekuni (48 tahun) membunuh 7 anak jalanan, 5 orang dimutilasi setelah sebelumnya semua menjadi korban pedofilia. Kasus yang sangat kejam ini semakin membuka mata masyarakat, bahwa kekerasan terhadap anak tampaknya semakin mengancam dan lebih kompleks. Lebih miris lagi kasus ini adalah pengulangan kasus serupa, yaitu kekejaman Robot Gedeg.
Tujuh pembunuhan yang dilakukan oleh Babe ada polanya. Si pembunuh sadis ini selalu memilih calonnya yang berada di luar anak-anak yang dia pelihara. Dia senang dengan anak-anak yang dipeliharanya, kecuali Ardi (korban terakhir) yang berasal dari anak yang dia pelihara. Anak-anak yang dipelihara oleh Babe tidak pernah disentuh, meskipun Sarlito mengatakan bahwa Babe termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak. Selain memiliki pola memilih di luar kelompoknya, Babe juga melakukan pola yang sama saat melakukan tindakan memutilasi tersebut. Kompulsinya dia mengikuti pola teratur. Awalnya, dia mengajak korban ke kamar mandi untuk mandi. Ketika ditolak saat diajak berhubungan seks, dia mengikat sang anak dengan tali rafia. Lalu dia melakukan hubungan seks dengan sodomi. Dia selalu menggunakan kardus untuk membuang mayat setelah dimutilasi ke tempat ramai supaya ditemukan orang dan dikubur. Pelaku adalah pedagang asongan sekaligus koordinator pengamen di Pulogadung, Jaktim. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologi, disimpulkan bahwa Babe mengidap pedofilia atau tertarik berhubungan seksual dengan anak kecil dan homo seksual. Selain itu Babe juga mengidap Nekrofil atau senang berhubungan seksual dengan mayat. Karena seluruh korban disodominya, setelah tewas dicekik. Babe mengakui bahwa seluruh korban, selain Ardiansyah, bukanlah anak asuhnya.
Kasus menggemparkan sebelumnya adalah kasus Tony, mantan diplomat Australia. Boleh dikata merupakan salah satu kasus pedofilia yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai “keganasan” si Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya.
Melihat kenyataan hidup sehari-hari ternyata banyak anak Indonesia yang sering diabaikan haknya demi kepentingan nista dari orang dewasa. Pedofilia adalah salah satu contoh memilukan terabaikannya hak anak Indonesia. Anak adalah nyawa tak berdaya yang tak mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa. Padahal anak adalah modal terbesar dan harapan masa depan bangsa ini. Lebih mengenaskan kasus Babe seperti halnya kasus Robot Gedeg yang menjadi korban adalah anak jalanan. Anak jalan dalam hal ini mempunyai nasib yang sangat tragis.
Anak normal dengan lingkungan keluarga yang lengkap dan kecukupan harta akan tercukupi kebutuhan dan haknya sebagai anak. Anak Indonesia yang normal ini dapat sekolah, mendapatkan sandang, papan dan pangan dengan baik oleh orangtuanya. Kelompok anak ini juga mendapatkan kebutuhan keamanan dan kebutuhan tekreasi yang memadai dari orangtuanya.
Sebaliknya dengan anak jalanan, alam kehidupan sosial mereka ini tidak hanya terpinggirkan karena cengkeraman himpitan ekonomi. Kebutuhan sandang, pangan dan papannya pun mereka kadang harus mencari sendiri. Belum lagi, ancaman terhadap nyawa setiap saat mengintai tubuhnya tanpa ada yang kuasa melindunginya. Anak jalanan ini mengarungi kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima anak seusia.
Pedofilia
Kekerasan dan kejahatan seksual sering dilakukan oleh penderita dewasa yang mengalami kelainan seksual. Kelainan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan jalan tidak sewajarnya. Cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah dengan menggunakan objek seks yang tidak wajar. Salah satu bentuk kelainan seksual yang ada di masyarakat adalah parafilia. Parafilia merupakan gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan dan praktek seksual yang kuat, yang biasanya berulang kali dan menakutkan bagi seseorang.
Beberapa jenis parafilia adalah ekshibisionisme, fetihisme, frotteurisme, pedofilia, masokisme seksual, sadismeseksual, veyourisme atau fetihisme transvestik. Pedofilia merupakan salah satu jenis parafilia yang lebih sering terjadi. Meskipun kasusnya cenderung meningkat sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang angka kejadian penderita yang mengalami gangguan tersebut. Adanya prostitusi terhadap anak-anak di beberapa negara dan maraknya penjualan materi-materi pornografi tentang anak-anak, menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan seksual terhadap anak tidak sedikit. Anak yang sedang tumbuh dan berkembang akan menjadi korban baik secara psikis dan fisik.
Pedofilia terdiri dari dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta). Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun baik pria maupun wanita, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut mengganggu si anak. Sedangkan pedofilis adalah pelakunya.
Secara sekilas praktek pedofilia di Indonesia dianggap sebagai bentuk perilaku sodomi. Akan tetapi kalau dilihat lebih jauh sangatlah berbeda. Karena terkadang penderita pedofilia bukan hanya dari kaum lelaki tetapi juga mengenai kaum perempuan dimana mereka tidak hanya tertarik pada lawan jenis. Korbannya pun bisa jadi anak laki-laki maupun perempuan. Hanya saja pada kasus Babe dan Robot Gedeg adalah sesama laki-laki.
Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
Kebanyakan penderita pedofilia menjadi korban pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Anak-anak yang terlibat dalam pedofilia, 2 – 3 diantaranya dalam aktivitas seksual tersebut bersifat koperatif terhadap orang dewasa yang sama maupun bukan. Meskipun demikian sikap koperatif anak-anak ini lebih dikarenakan perasaan takut dibanding ketertarikan terhadap seks itu sendiri.
Aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Orang dengan pedofilia seringkali merasionalisasikan dan beralasan bahwa perilakunya merupakan hal sifatnya mendidik, dan anak-anak tersebut juga mendapat kepuasan seksual, atau anak-anak itu sendiri yang menggoda.
Aktivitas seksual melibatkan anak dari anggota keluarga sendiri ataupun anak-anak lain. Korban dari penganiayaan seks ini biasanya diancam untuk tidak membeberkan rahasia. Seringkali orang dengan pedofilia sebelumnya melakukan pendekatan terhadap anak, seperti melibatkan diri dengan wanita yang memiliki anak-anak, menyediakan rumah yang terbuka pada anak-anak, sesama orang pedofilia bertukar anak ataupun penculikan anak dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan, kesetiaan, maupun kasih sayang anak tersebut, sehingga anak tersebut dapat menjamin rahasia.
Pengaruh pada anak
Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia, secara jangka pendek dan jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Gangguan fisik yang terjadi adalah resiko gangguan kesehatan. Saat melakukan hubungan kelaminpun seringkali masih belum bersifat sempurna karena organ vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sesempurna orang dewasa. Bila dipaksakan berhubungan suami istri akan merupakan siksaan yang luar biasa, apalagi seringkali dibawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS, karena penderita pedofilia kerap disertai gonta ganti pasangan atau korban. Bahaya lain yang mengancam, apabila terjadi kehamilan. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia anak atau remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.
Usia anak yang sedang tumbuh dan berkembang seharusnya memerlukan stimulasi asah, asih dan asuh yang berkualitas dan berkesinambungan. Bila periode anak mendapatkan trauma sebagai korban pedofilia dapat dibayangkan akibat yang bisa terjadi. Perkembangan moral, jiwa dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat bervariasi. Tergantung lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat trauma yang ditimbulkan lebih berat. Trauma psikis tersebut sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Dalam keadaan tertentu yang cukup berat bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak ringan. Bahkan seorang korban pedofilia karena trauma psikologis yang sangat berat ini dapat berpotensi menciptakan seorang pedofilis dikenudian hari. Hal ini terjadi pada kasus Babe. Ternyata gangguan pedofilia yang ada pada dirinya juga diawali kejadian dirinya menjadi korban pedofilia di usia remaja. Dalam keadaan ini pendekatan terapi sejak dini mungkin harus segera dilakukan. Secara sosial, baik lingkungan keluarga atau lingkungan kehidupan anak kadang merasa diasingkan dengan anak sebaya dan sepermainan. Beban ini dapat memberat trauma yang sudah ada sebelumnya.
Srigala berbulu domba
Praktik pedofilia di Indonesia mulai ramai dibicarakan sekitar sepuluh tahun terakhir. Beberapa kasus praktek kejahatan pedofilia mulai sering dilaporkan, khususnya dari aktivis LSM Perlindungan Anak. Apalagi dalam beberapa kasus yang terkuak para pelaku pedofilia itu adalah warga negara asing. Tidak heran di daerah-daerah wisata Indonesia yang sering dikunjungi wisatawan asing dijadikan surga praktik pedofilia. Biasanya seorang pedofilia adalah seorang singa berbulu domba. Mereka selalu mengelabuhi anak-anak dengan memberikan iming-iming uang, pakaian, makanan atau mainan secara berlebihan.
Demikian juga babe, kebiasaannya yang dekat dengan anak jalanan memang dianggap wajar para tetangga Babe. Karena sejak mengontrak di daerah ini, lelaki itu hanya tinggal seorang diri. Mungkin karena tidak punya anak, jadi dia merawat anak-anak jalanan dengan penuh perhatian. Kebaikan Babe diketahui warga karena lelaki ini jarang membeli makan jadi. Dia selalu memasak sendiri makanan untuk anak jalanan yang ditampungnya. Selain itu juga, babe terkadang memberi uang kepada bocah di sekitar tempat tinggal meski bukan anak asuhnya.
Dilihat dari berbagai bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofilia bisa dikatakan anak-anak dieksploitasi sebagai korban. Apalagi sebagian kasus pedofilis akan membunuh korbannya bila merasa terancam rahasianya. Anak-anak sebagai korban mestinya dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus, terutama di bidang hukum. Secara juridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya atau pelakunya. Selama ini undang-undang yang sering dipakai untuk mengadili penjahat ini adalah dengan KUHP Pasal 292 juncto pasal 64. Tentang Pencabulan. Tuntutan maksimalnya 5 tahun dipandang banyak aktivis perlindungan anak sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.
Kaum Pedofilis harus segera sadar, dengan kenistaan yang hanya memburu kenikmatan sesaat itu ternyata dapat menghancurkan anak seumur hidupnya. Semua lapisan masyarakat, institusi swasta, instasi pemerintah, pemerintah, aktifis dan pemerhati anak harus bahu membahu tiada henti bekerjasama melawan dan melindungi anak Indonesia dari ancaman segala kekerasan terutama pedofilia. Para orangtua harus selalu waspada dan hati-hati terhadap singa berbulu domba seorang pedofilia. Anak jalanan adalah sasaran empuk kaum pedofilia, karena mereka tidak ada yang melindungi. Semua pihak atau siapapun masyarakat yang peduli dengan pengabaian hak anak tersebut harus cepat melakukan aksi nyata melawan pedofilis yang kejam ini. Jangan sampai di masa mendatang terlahir seorang Robot Gedeg atau Babe yang lain hanya karena masyarakat meremehkan hak sebagian anak Indonesia yang mulai pudar.
Dr Widodo Judarwantob SpA
Support by
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA
Yudhasmara Foundation
email : judarwanto@gmail.com,
http://pedophiliasexabuse.wordpress.com/
Provided by

SAVE  THE CHILDREN INDONESIA  Yudhasmara Foundation
JL Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat
Phone : (021) 70081995 – 5703646 email : judarwanto@gmail.com

Kasus Kekerasan terhadap Anak Naik 300%





JAKARTA (MI): Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk ke lembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi menjelaskan, kasus pelanggaran hak anak meliputi kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan penculikan.
''Ini sangat mengkhawatirkan. Kekerasan secara fisik dan psikis pada anak yang terjadi merupakan fakta yang tidak bisa lagi disembunyikan,'' kata Seto di Jakarta, kemarin.
Versi berbeda namun sama memprihatinkan diungkapkan tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rachmat Sentika. Menurutnya, berdasarkan data yang dihimpun dari Kejaksaan Agung pada 2006 dan telah diteruskan ke Komite Anak Dunia, dalam laporan III dan IV, terungkap berbagai data yang merisaukan perihal kekerasan terhadap anak yang telah resmi diproses sesuai hukum.
Pada laporan tersebut tercantum, terdapat 600 kasus yang telah resmi diputus oleh Kejaksaan Agung. Dari total tersebut, 41% di antaranya terkait dengan tindak pencabulan dan pelecehan seksual. Adapun 41% lainnya, berkenaan dengan perkosaan. Sisanya, 3% merupakan kasus perdagangan anak, 3% kasus pembunuhan, 7% tindak penganiayaan, sedangkan lainnya 5% tidak diketahui.
Sementara itu, sepanjang 2007, berdasarkan hasil penghimpunan berbagai berita di 19 koran dalam rentang satu tahun terungkap, terdapat 470 kasus kekerasan pada anak. Dari jumlah itu 67 di antaranya terbunuh, sedangkan 23 kasus lainnya merupakan tindak perkosaan yang umumnya dilakukan pihak keluarga dekat.
Rachmat juga mengungkapkan, dari kasus perdagangan anak, rata-rata 290 ribu anak per tahunnya menjadi buruh migran di luar negeri. Dari jumlah itu, 10% di antaranya umumnya terkait dengan anak-anak.

Tegakkan hukum

Padahal, ia menjelaskan, secara yuridis formal perintah melindungi anak-anak dari kekerasan sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dan Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
''Dan tindak kekerasan pada anak sangat kompleks. Lantaran, guna mencari solusi, dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, yakni keluarga, pendidik, masyarakat, dan pemerintah,'' kata Rachmat.
Menurutnya, anggota keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus memahami hak anak-anak, dan semaksimal mungkin untuk memenuhinya.
''Semua harus paham bahwa anak bukan hak milik yang bisa diperlakukan seenaknya. Mereka juga punya hak. Maka kita semua perlu sosialisasi dan advokasi terhadap hak-hak anak.''
Hal senada juga dikemukakan Seto Mulyadi. Komnas Perlindungan Anak, lanjut Seto, merekomendasikan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada anak dan menegakkan peraturan perundangan tentang perlindungan anak yang sudah ada.
''Kami juga meminta pemerintah memberikan layanan rehabilitasi sosial komprehensif, tanpa biaya, bagi anak-anak korban kekerasan dan pelanggaran hak,'' tegasnya.
Berkenaan hal itu Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah menjelaskan, pemerintah telah berupaya mencegah dan menangani kasus kekerasan pada anak dengan menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Demikian juga dengan penyediaan fasilitas rehabilitasi sosial bagi anak-anak korban kekerasan dan pelanggaran hak. ''Hanya saja, Depsos baru memiliki satu fasilitas semacam itu, yakni rumah perlindungan sosial anak di Bambu Apus, Jakarta Timur,'' kata Mensos

sumber : KPAI